FKUB Jateng Dukung Pembangunan GBI Tlogosari

Bangunan GBI Tlogosari ditutupi seng. Foto Nurus Solehen-Toleran Semarang, Toleran- Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah ...

LBH Semarang: Kasus Intoleransi di Jawa Tengah Tidak Pernah Tuntas

ilustrasi intoleransi dan diskriminasi-pixabay


Semarang, Toleran- Angka kekerasan terhadap minoritas dan kelompok rentan di Jawa Tengah, meningkat pada 2019. Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menyebutkan ada 32 kasus yang terjadi di wilayah itu. Angka ini meningkat signifikan ketimbang 2018, di mana terdapat 10 kasus.
Direktur LBH Semarang Zainal Arifin mengatakan puluhan kasus tersebut terjadi di beberapa tempat, salah satunya di Semarang. Kekerasan itu juga melibatkan sejumlah pihak.

“Melibatkan pejabat pemerintahan melalui kebijakan itu ada delapan kasus, individu kaitannya dengan kekerasan seksual, pencabulan dan sebagainya itu ada sembilan kasus, yang melibatkan polisi adatiga kasus, institusi pendidikan tiga kasus, dan kelompok masyarakat lainnya ada tiga kasus,” terang Zainal dalam acara konferensi pers di salah satu hotel di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (22/02/2020).

Zainal menjabarkan, untuk kasus kekerasan berbasis agama dan keyakinan juga mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Kata dia, ada 11 kasus yang terjadi di tahun yang sama, tujuh di antaranya terkait dengan situasi politik nasional yang merembet di Jawa Tengah.

Kasus lainnya, kata dia, terkait dengan pendirian rumah ibadah dan pelarangan kegiatan keagamaan di Jawa Tengah. Ada tiga kasus yang jadi sorotan. Kasus pertama soal pencabutan izin mendirikan rumah ibadah Jemaat Gereja Injil Tanah Jawa di Desa Dermolo, Kecamatan Kembang, oleh Pemkab Jepara. Padahal mereka sudah mengantongi izin sejak 2002.

Kasus kedua soal pemberian surat peringatan (SP) penghentian kegiatan keagamaan oleh Pemkab Banjarnegara kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Yang terakhir terjadi di Semarang, yaitu IMB Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari.

“Itu juga sama IMB--GBI Tlogosari-- sudah terbit tahun 1998, sampai sekarang belum bisa dibangun. Yang terbaru hari ini mereka--kelompok intoleran--menuntut wali kota untuk mencabut IMB yang sudah ada,” paparnya.

Menurut Zainal, pola yang dilakukan oleh kelompok intoleran selalu sama, dan tidak ada yang baru. Yakni mendesak pemerintah atau kepala daerah setempat mencabut IMB pendirian rumah ibadah yang sudah terbit.

Masalah lain yang jadi penghambat pendirian rumah ibadah adalah Surat Keputusan Bersama 2 Menteri, yakni Mendagri dan Menteri Agama. Aturan ini dinilai menyulitkan, karena mensyaratkan persetujuan dari masyarakat sekitar, serta rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

“Dari beberapa kasus kaitannya dengan rumah ibadah di Jawa Tengah tidak ada satupun yang selesai,” tegasnya.

Zainal lantas mempertanyakan jargon Jateng Gayeng yang kerap digembar-gemborkan? Pasalnya, jargon yang artinya menggembirakan dalam Bahasa Jawa itu, tidak diikuti dengan pengambilan kebijakan untuk menyelesaikan kasus-kasus di atas. Zainal mendesak Pemprov Jawa Tengah segera menuntaskan kasus-kasus yang menyasar minoritas dan kelompok rentan.

Reporter: Sindu Dharmawan
Editor: Sindu Dharmawan

0 Response to "LBH Semarang: Kasus Intoleransi di Jawa Tengah Tidak Pernah Tuntas"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel